Seniman Hebat Itu Bernama Arafat
Seputar Islam
Masa-masa di Tarim adalah rentang waktu berharga dalan hidupku. Tarim lingkungan istimewa. Suasananya agamis, tenang namun mampu merubah mentalitas seseorang, yang dulu beribadah karena wajib, menjadi muslim penyembah Allah karena rindu.
Jika ada yang tinggal di Tarim seminggu tapi tak tumbuh di dadanya tunas cinta pada Rosul, orang itu patut dicurigai, jangan-jangan hatinya terbuat dari kerikil. Semua karena penduduk desa ini, sejak ratusan tahun lampau, mendemonstrasikan cinta Nabi secara masif dan mengampanyekannya besar-besaran.
Tarim lembah terpencil. Ia adalah nirwana bagi pencinta Nabi Muhammad. Kalau sunah-sunah tertentu di daerah lain dianggap asing, namun di Tarim hal tersebut lumrah dilakukan.
Laksana kejahatan, kebaikan pun mewabah. Kami, para mahasiswa, saat tinggal di Tarim tertular untuk meneladani sunah nabi. Seperti mendahulukan yang kanan, memanjangkan jenggot, motong kuku saban Jum'at dan membaca doa hampir di segala tempat dan kegiatan: Memakai dan melepas baju, masuk-keluar rumah, naik kendaraan, tidur, belajar. Hanya doa malam pertama yang belum kami baca.
Dari sekian banyak sunah, yang paling berkesan bagiku adalah sujud syukur. Sujud Syukur, dalam perspektif fikih, adalah ibadah yang disyariatkan ketika seseorang dilimpahi nikmat atau terbebas dari malapetaka. Bagi para mahasisiwa, sujud ini sangat berarti karena pada akhirnya syukur itu menjelma menjadi tasyakkuran.
Semua mahasiswa Al-Ahgaff mufakat bahwa takmili -istilah Remedi guna memperbaiki nilai mata kuliah- tak ubahnya puting beliung: Musibah besar. Kalau sampai gagal dan i'adah, beasiswa dicabut dan tahun depan harus hidup dengan biaya sendiri. Kawan tahu berapa nominal yang dikeluarkan untuk ngulang setahun itu? Besar. Seharga Motor baru! Maka lulus takmili jelas nikmat mahaagung, pantas membuat orang bersujud meski berada di kantin sekalipun.
Arafat, mahasiswa asal bekasi, pemuda tampan berwajah arab, jago sekali memasak. Di Tarim ia sekamar denganku. Sebab keahliannya itu saat musim takmili ia kebanjiran job. Muaranya, teman-teman kamar yang lulus remedial seringkali menyisihkan uang untuk tasyakkuran. Mereka tak segan melakukan itu sebab 3000 reyal untuk masak-masak, tentu tak sebanding dengan ratsan dolar biaya i'adah.
Aku beruntung bertemu dengan Arafat, laki-laki perfeksionis ini amat pendiam dan tak senang mencampuri urusan orang lain. Ia idaman para mertua. Aku beruntung sebab aku menyaksikan langsung seseorang dengan bakat yang mengagumkan, justru disaat kebanyakan orang seusianya kebingungan mencari jati diri. Memasak bagi pria rapi jali ini bukan hanya menyiapkan makanan tapi ia adalah filosofi.
Pertama kali kusaksikan kebolehannya pada tasyakuran Faad. Pagi itu jam sebelas, mahasiswa asal Sampang ini senyam senyum,
"Entar malam masak, kang!" Ujarnya ke Arafat. Mukanya berbinar-binar sebab Tuhan telah mengangkis nasibnya dari bala' i'adah. Faad lulus takmili. Arafat dan semua teman kamar mengucapkan selamat padanya seolah ia mendapat penghargaan dari MURI. Tapi senyum Faad berubah kecut,
"2000 reyal cukup kan?" Ungkapnya dengan logat Madura yang kental persis Kadir. Kami kaget. 2000? Ponakan Bupati?! Dasar pelit! "Kalau kurang dicukup-cukupkan aja. Heheh!!" Lanjutnya. Arafat diam sejenak kemudian menatap Faad. Arti tatapan itu: Beres bro. Semua ana yang atur.
Disinilah hebatnya Arafat. Ia bisa menyesuaikan menu dengan budget. Jika anggaran minim, semisal kantong si empunya hajat pas-pasan, pria itu memasak menu murah meriah: Nasi telor plus sambal lalapan, tumis kangkung, opor telor rebus, nasi goreng atau kolak kacang ijo. Tapi kalau yang punya acara Ma'rufi, bisnis man, orang paling kaya sekamar, maka tak tanggung-tanggung Arafat akan meracik hidangan hotel bintang lima, tak kurang dari Goat Meat Papper Soup, Creamy Pumkin Curry with Fried Chicken, atau Paleo Beef Bacon Bourguignon.
Dan karena anggaran pas-pasan, nanti malam Arafat akan memasak Mie Ayam. Sejatinya bukan karena tak punya uang, tapi agaknya, Faad menganggap anak-anak kamar, yang rata-rata udik, hanya pantas diberi makan Indomie.
Sumbara girang sekali. Ya'qub Sumbara begitu nama lengkapnya. Asli Burqina Faso, hitam legam seperti pantat panci, namun hatinya putih tiada banding. Saat mendengar tasyakuran pemuda Afrika itu paham harus berbuat apa. Karena kontur mukanya mirip wajan penyok dan ia sama sekali buta rasa, maka tugasnya adalah meminjam perlatan masak. Di kamar, jabatan Sumbara adalah menteri perlengkapan
Setelah menerima resep bumbu yang harus dibeli aku dan Sahal melenggang ke pasar. Kupegang catatan kecil itu erat-erat seperti bahits mendekap salinan manuskrip lama yang langka. Aku sangat hati-hati sebab kertas resep ini, meski ditulis pada robekan soal ujian, namun mengandung rahasia tata boga nomer wahid dengan cita rasa bermutu tinggi. Catatan resep ini tak ubahnya prasasti berharga peninggalan dinasti Ming. Ingin kulaminating kertas ajaib itu, kukoleksi dan kelak kuikut sertakan dalam pameran masak internasional.
Tugasku dan Sahal adalah belanja, sebab kami punya motor. Anggota kamar yang lain nanti malam akan membantu motong bawang, kentang, mengiris cabe, dan tugas sepele lainnya. Sedang Arafat, dari dhuhur sampai waktu masak tiba, bersemidi, mencari-cari ilham demi menemukan takaran rasa nan istimewa untuk menu nanti malam.
Salat isya' usai, kami bergegas. Setelah sampai di dapur Arafat tak buru-buru masak. Aku heran. Lelaki itu bolak-balik, kedalam keluar dapur, mendengus-dengus, dan membentangkan tangan berputar-putar persis Guruh Soekarno berterima kasih pada penonton dalam sebuah orkestra. Dapur kuliah, tempat kami masak, tidak pas kalau dikatakan tempat sampah bekas, namun tak berlebihan jika disebut kumuh.
Arafat repot-repot bertingkah seperti itu sebab ia ingin mengecek lokasi terbaik untuk memasak. Tak boleh sembarangan. Ia terlebih dahulu memeriksa kecepatan angin, kenetralan aroma, tekanan udara, kualitas wajan, dan konsentarasi gas dalam ruangan. Tangan yang dibentangkan itu kiranya berfungsi sebagai termometer guna mengetahui suhu cuaca. Itu semua dilakukan agar suasana dapur yang jorok ini nanti tidak mempengaruhi kualitas Mie Ayam.
Sungguh bukan perkara mudah menjadi chef jempolan. Jika tidak berbakat butuh waktu bertahun-tahun sekolah agar mengerti hal-hal kecil yang penting macam ini. Aku saja, agar mencapai tingkat suhu dalam menyeduh mie instans harus belajar sampai 10 bulan 16 hari. Itu pun aku hanya bisa menyeduh mie gelas.
Setelah mendapat lokasi ideal baru kami mulai memotong bawang dan bumbu lain berdasar kertas resep itu. Sedetail mungkin kami mematuhi petuah catatan kecil yang ditulis Arafat tadi pagi. Arafat hanya memperhatikan. Kali ini ia merenung, menimbang-nimbang durasi menggoreng berdasar kecil dan besarnya potongan. Jika yang mengiris bumbu Faad, biasanya imut-imut, -maklum ia sangat favorit pada yang unyu-unyu, contohnya Fatin, atau anak kamar sebelah yang senyumnya bisa melumerkan tiang listrik itu- maka Arafat butuh waktu 8 menit 53 detik untuk menggoreng bumbu mei ayam. Tak lebih tak kurang.
Namun kalau yang memotong Harits Syahid, manusia pemalas, semberono dan tak bisa diandalkan itu, Arafat harus menggorengnya sampai 12 menit 11 detik. Sebab potongannya besar-besar. Tak jarang ketumbar yang lazimnya dihaluskan, Harits masukkan dengan plastiknya.
Kata membantu diatas majaz saja, sebab kami hanya melakukan hal remeh temeh yang tak punya implikasi apapun pada rasa. Selebihnya Arafatlah yang merebus 2 bungkus Mie Spagheti merek Al-Safwah, memasak ayam 900 gram, menggoreng rempah-rempah dan menakar garam dan penyedap rasa. Perihal cuci mencuci, mecubit-cubit daging ayam dan mengiris cabe, itu tugas kami.
Arafat konsentrasi. Ia memasak dengan serius seolah wajan itu adalah benda seni. Di tanganya sutil bekas yang patah itu tampak seperti kuas dan wajan kotor tadi bak kanvas saat seniman melukis panorama gunung Fuji. Aku kagum. Ia memasak dengan lihai, tangkas, cekatan, namun tenang setenang embusan angin pagi.
Baru aku tahu bahwa untuk mendapatkan Mie Ayam yang lezat tidak sembarangan, ia harus dimasak oleh seorang koki bertangan dingin, fisikawan ulung, seniman berbakat, ahli manajemen dan filosof setingkat sufi yang dibimbing intuisi sekaligus. Arafat salah satu keturunan Nabi Adam yang punya keriteria itu.
Tak sampai satu jam Mie Ayam sudah siap saji. Kami tegang mengantisipasi sensasi rasa dari Mie Spageti ini. Namun dari kejauhan sinar lampu motor menyorot. Ah, pasti Muhyidin, pakar ilmu hisap, anggota kamar yang jarang di asrama. Sebab gemar berhisap ia terpaksa menyewa kontrakan. Selain jam kuliah ia tak pernah meninggalkan hisap. Apapun acara yang digelar ia absen. Tapi kalau Arafat memasak ia pasti hadir. Tak mungkin ia lewatkan kesempatan emas ini.
Kami tak sabar. Sebelum makan Faad mengirimkan Fatihah pada guru-guru, ulama dan Rosulullah, dengan maksud agar dijauhkan dari takmili. Cakup sekali ini saja. Kami mengamininya dengan khusuk.
Memang dahsyat Mie Ayam ini. Pada suapan pertama lidah kami langsung dimanja oleh kenikmatan yang tak bisa dilukiskan kata-kata. Rasa sedapnya lekat di pangkal tenggorokan, menjalar pada setiap persendian tubuh, mengalir melalui saraf ke otak tengah, kemudian membangkitkan Neuron Dopamin, hormon pembuat orang senang. Kami bahagia. Seketika itu encok di pinggang, pegal linu, pusing kepala, dan stres berkepanjangan sebab setoran Qur'an, mendadak hilang. Sirna tampa bekas. Aku dan Sumbara saling pandang, kami terenyum dan gara-gara Mie Ayam ini kami tanpa sadar berdoa pada yang Mahatinggi, memohon semoga ujian depan Faad takmili lagi.
Dulu, kalau ngobrol dengan orang tentang makan favorit aku kelabakan. Dari kecil aku tak menyukai makanan khusus. Namun malam ini aku yakin, haqqul yaqin, makanan favoritku adalah Mie Ayam. Tapi pada tasyakuran Faad selanjutnya, dan berkat doa kami Faad takmili lagi, aku gamang. Arafat memasak sayur bayam. Aku sadar bahwa Mie Ayam bukan favoritku, aku berubah. Setelah itu kalau ditanya apa makanan kesukaanku? Aku menjawab dengan yakin, ainul yaqin, makanan kesukaanku adalah sayur bayam.
Namun aku kembali dilanda ragu, pada masak selanjutnya, dan karena doa kami lagi Faad takmili untuk kali ketiga, keputusanku goyah. Maka akhirnya, aku mencapai kesimpulan final bahwa aku yakin, seyaqin-yaqinnya, makanan favoritku adalah masakan Arafat, apapun masakan itu.