Hadhramaut Di Tangan Tiga Penguasa

Hadhramaut Di Tangan Tiga Penguasa

Hadhramaut Di Tangan Tiga Penguasa

Aku tidak mengira bisa menjadi bagian dari ini. Sebuah periode bersejarah. Bumi tua Hadhromaut akhirnya tekuk lutut di bawah kangkangan Al-Qoidah.

Saat Aden larut dalam perang antara kelompok militan Al-Houtsi dan Majelis Sya'bi. Dan Saudi serta negara-negara koalisi sibuk menggencarkan operasi meliter di kota Sana'a dan Hudaidah, Al-Qoidah secara teliti menimbang-nimbang kondisi ini. Pada titik tertentu, setelah menunggu sekian tahun, jaringan teroris 'kesayangan Amerika' itu mengambil momentum melancarkan serangan pada sendi-sendi pemerintahan provinsi Hadhromaut.

Yaman yang sedang kacau lantaran Al-Houtsi, kian porak poranda dibuat Al-Qoidah. Hari pertama serangan, Al-Qoidah sukses besar. Mereka melumpuhkan markas meliter, menguasai gudang senjata, merampok bank-bank, meledakkan kantor pemerintah, menjarah fasilitas umum, dan membebaskan Bathorfi. Dua hari berselang tersebar foto di medsos, Kholid Bathorfi, pimpinan Al-Qoidah yang ditawan meliter Yaman, selfie ongkang-ongkang kaki di istana kepresidenan yang berjarak 7 kilo meter dari asramaku.

Maka sejak itu, berarti sudah sebulan yang lalu, bendera Al-Qoidah berkibar-kibar gagah di seantero Mukalla. Ulama fiqih menyebut pergantian pemimpin macam ini dengan istila'. Sejak aku bisa membaca, perpindahan tampuk kekuasaan di Indonesia selalu menggunakan hak suara. Namun di Yaman, aku mengalami langsung pelungsuran kekuasan dengan cara lain yang tak lazim: Kudeta pemerintahan di tangan Al-Houtsi, dan penggulingan kekuasaan oleh Al-Qoidah di Hadhromaut.

Bathorfi berjaya. Di foto selfie itu, ia tersenyum. Jenggotnya lebat, dan lengan kanannya menyandang senjata serbu otomatis yang mampu memuntahkan 450 peluru per menit. Sungguh hebat laki-laki itu. Tiga tahun kemarin ia pontang-panting, kabur dari satu perembunyian ke persembunyian lain seperti tikus, lantas tertangkap, kemudian ia ditunggingkan oleh pemerintah ke dalam penjara, hari ini, lihat lah, ia berlagak.
Hampir semua wilayah Hadhromaut berada dalam genggamannya.

Jika Bathorfi ingin shopping, lelaki itu dan pasukannya pergi Hyper Market Al-Mustahlek, pusat grosir terbesar di Mukalla. Dengan senang hati, kelompok teroris itu mengambil barang sesukanya. Tidak ada yang berani mencegah, sebab ia adalah raja. Bayar? Tidak perlu. Karena baginya semua harta itu adalah Ghonimah. Maka aku duga orang seperti Bathorfi riwayatnya akan tamat dalam penjara Guantanamo. Atau paling tidak, nyawanya akan lunas dihantam rudal musuh.

Benar dugaanku. Kisah asmara Amerika dengan Al-Qoidah, yang dimulai sejak tragedi gedung WTC 11 september 2001 silam, sampai sekarang masih hangat nan mesra. Kalau sore-sore kami mendengar bunyi mesin parut, jelas itu bukan pabrik gula, sebab tak ada pabrik tebu di Mukalla, ia tak lain adalah deru suara pesawat tampa awak kepunyaan negri paman Sam itu.

Amerika dendam kesumat. Pada bulan ini saja, pesawat canggih tampa awak dua kali menciumkan rudal ke kening anggota Al-Qoidah. Hasilnya dua orang modar pada serangan pertama di Syiher. Rudal kedua diluncurkan di dekat istana kepresidenan. Namun tak menelan korban. Aku ngeri. Sampai hari ini pesawat mutakhir itu masih melesat-lesat di langit Hadhromaut, mengintai dedengkot Al-Qoidah, buronan internasional, Bathorfi.

Hadhromaut di bawah naungan Al-Qoidah tidak lebih beruntung ketimbang kota lain. Selain kondisi politik yang amburadul ekonominya kian memburuk. Harga kebutuhan pokok melambung, BBM langka, dan yang lebih menjengkelkan adalah listrik. Kawan tentu tahu bahwa Mukalla akrab dengan terik matahari, kota padang pasir, juga di pesisir pantai, maka lembabnya bukan main dan panas sekali. hehe...

Perihal harga yang melambung bukan masalah bagi kami, para mahasiswa Al-Ahgaff. Dari pondok, kami sudah jago berhemat. Layaknya santri, kiriman untuk sebulan, biasanya kami habiskan selama dua minggu. Setengah bulan pertma itu kami bergaya seperti orang kaya, jarang ke dapur pondok. Nongkrong di kantin. 16 hari setelahnya, sampai kiriman bulan depan tiba, kami menghemat. Lebih tepatnya terlunta-lunta, lobang lama belum ditutup kami gali lubang baru. Maka tak masalah harga kebutuhan naik, asal dapur kuliah masih buka. Namun urusan listrik berbeda.

Pada priode kekholifahan Al-Qoidah ini, listrik tak tanggung-tanggung padam sampai 16 jam. Ba'dal fajr, mulai terang tanah listrik tewas, baru menyala jam 5 sore. Seharian tampa listrik benar-benar menyiksa. Tak ada air, berarti tak mandi. Tanpa kipas, tak bisa menyeduh teh. Kami tak sabar. Hawa panas membuat tidur tak nyenyak dan tubuh lengket sebab keringat.

Malamnya listrik yang kami sayangi itu padam lagi sekitar 4 jam; Dari jam 8 sampai 9, jam 11 sampai 1, dan jam 3 sampai 4 pagi. Aku jengkel setengah mati. 8 jam sisanya baru listrik hidup. Namun parahnya, kata hidup itu harfiah saja, nyatanya listrik byar pet. 5 menit nyala, 5 menit padam, bergantian dari satu sakan ke sakan yang lain. Konon menurut desas-desus yang beredar, rupanya juru listrik Al-Qoidah seorang DJ. Ah, kiranya ia ingin membuat Mukalla berkerlap-kerlip serupa lampu disco. Rakyat pun berdansa, tarian kipas, mengibas-ngibaskan kerdus ke ketek mereka yang basah.

Kenapa aku tidak ikut evakuasi? Mengapa pula aku betah di tempat yang sewaktu-waktu bisa kena rudal ini? Pertanyaan super sekali. Jawabannya, aku bertahan disini karena satu alasan: yaitu Syahadah. Ijazah S1 alumni fakultas Syari'ah wal Qonun tahun kemarin belum juga kelar. Maka aku berdiri digarda depan, menjadi martir, berjihad untuk mengurusi syahadah yang amat istemewa ini.

Aku sebut istimewa sebab ijazah itu bukan sembarang, berbeda dengan yang lain. Ijazah Lc mahasiswa Al-Ahgaff yang beraliran Sunni tahun ini akan dikirim ke kementrian pendidikan Yaman di ibu kota. Maka Syahadah S1 itu akan distempel oleh Syiah, Al-Houtsi. Kertas itu kemudian dilungsurkan ke meja khorijiyyah provinsi Hadhromaut, dan yang mendapat kehormatan menanda tangani adalah Al-Qoidah, gembong teroris. Lantas syahadah kami akan distempel KBRI, tapi bukan di Yaman, namun di Oman. Sungguh paduan yang memesona, Sunni, Syiah, Al-Qoidah dan KBRI Yaman berdomisili di Oman bersatu padu dalam ijazah Lc kami itu.

Berkali-kali aku menemui Zakariya Badebbah, bagian Administrasi kuliah. Saat melihatku penanggung jawab ijazah itu sangat tertekan. Dari kedutan matanya tampak betul bahwa ia kesal sebab terlalu sering kutanya. Aku maklum, urusan syahadah, dalam kondisi politik Yaman yang memanas, memang sulit. Namun teman-teman butuh ijazah itu, bulan depan tahun ajaran baru akan dimulai. Akhirnya Ustad bermarga Badebbah itu bersabda,"Ya ibni, isma'! Saya akan berusaha, buka telingamu baik-baik ya, saya akan berusaha merampungkan ijazah kalian pada bulan enam!"

Nah, kawan, dengarkan apa kata ust. Zakariya itu! Jadi jangan banyak tanya lagi, bosan aku menjawabnya. Insyaallah syahadah kita yang istimewa itu sudah jahiz pada akhir bulan Juni. Meski aku sendiri tidak pasti apakah Juni tahun ini atau tahun depan?!