Sekilas Tentang Dunia Kesufian
Cerpen Sejarah Seputar IslamJika kita mengakaji ilmu Tasawuf, atau minimal membaca kitab bertema suluk, kita akan berjumpa dengan kata Al-Ghaibah. Istilah sufisme ini identik dengan ekstase dalam ilmu kebathinan. Para Sufi mengartikannya sebagai kondisi di luar kendali, akibat adanya hubungan transendental antara makhluk dengan Sang Pencipta.
Komunikasi tingkat tinggi itu, membuat manusia, saat dihadapkan pada keagungan Dzat Tuhan, lupa diri, lupa sekitar, melebur seolah hilang kesadaran, dan akhirnya pada titik tertentu melumpuhkan indra tubuhnya secara total.
Imam ibn Ishaq meriwayatkan pada suatu hari, menjelang perang Datz al-Riqo', sahabat Abbad bin Bisyr ditugaskan Rasul untuk jaga malam. Rasulullah berserta para sahabatNya beristirahat di sebuah lereng gunung. Abbad bin Bisyr tidak sendiri. Ia ditemani Ammar bin Yasir. Kedua sahabat nabi itu sepakat untuk bergatian. Pada paruh malam pertama Abbad lah yang ronda. Kemudian, untuk paruh kedua, ia akan diganti oleh Ammar.
Abbad berjaga di lorong gunung sembari melaksanakan salat malam. Tiba-tiba ketika salat, ia diserang seorang laki-laki dari kaum musyrik dengan panah. Abbad tidak bergeming meski anak panah itu menancap di tubuhnya. Seakan tidak terjadi apa-apa, ia khusuk. Dipanah lagi. Beliau tetap diam. Sampai serangan ketiga, Abbad baru tergesa-gesa menyelesaikan salatnya. Ia membangunkan Ammar. Melihat cucuran darah Ammar bangkit memburu laki-laki musyrik itu. Namun ia kabur dan tak terkejar.
"Mengapa kau tidak membangunkanku sejak awal?" Ammar menghardik teman anshornya itu. Abbad menimpali.
"Waktu serangan pertama aku sedang berada di tengah-tengah surat Al-Qur'an. Aku tak ingin memotongnya. Kalau tidak ingat akan keselamatan orang islam, sungguh, apapun yang terjadi, aku tidak akan mengakhiri salatku sampai bacaan surat itu selesai!"
Hadits ini menggambarkan betapa tinggi iman Abbad bin Biysr. Aku takjub. Saat ia berada pada puncak kenikmatan bermunajat kepada Tuhan, bersenyawa dengan firman-Nya, ia larut. Seolah ia memasuki alam lain. Sampai-sampai ia sama sekali tak merasakan sakit dari luka panah itu.
Inilah yang dinamakan pakar Tasawuf dengan al-Ghaibah. Aku terkejut menyadari ternyata Abbad bin Bisyr seorang sufi.
Fenomena macam ini tidak hanya terjadi pada zaman Nabi. Pada kurun selanjutnya banyak orang sholeh yang mengalami kondisi serupa. Dalam kitab Risalah Qusyairiyah disebutkan bahwa Imam Ali Zainal Abidin, cucu sayyidina Ali bin Abi Tholib, pernah ketika sujud rumahnya kebakaran. Sampai api berhasil dipadamkan ia tidak bergeser dari tempat sujudnya barang satu senti pun. Orang-orang heran. Ia ditanya bagaimana itu bisa terjadi? Sungguh dahsyat jawaban beliau.
"Kobaran api neraka di akherat membuatku lupa pada panasnya api dunia!"
Seseorang yang mengalami fenomena ghaibah, pada tingakat tertentu, tidak dikenai hukum taklifi. Sebab ulama fikih sepakat bahwa poros taklif -selain bulugh- adalah akal, dan orang pada kondisi ini tak lagi sadar. Ia seperti orang mabuk, akalnya sudah tertutup.
Lantaran itu syekh al-Juneid mencegah istrinya masuk kamar, saat Abu Bakar Al-Syibli tersedu-sedu, datang berkunjung ke rumahnya. Syekh itu tahu bahwa Al-Syibli sedang tenggelam dalam kesedihan, sehingga ia tak kan sadar duduk bersama siapa. Yang ia ingat hanya dosa-dosanya. Setelah syekh menenangkan Al-Syibli, dan sebelum kesadarannya kembali, syekh itu baru menyuruh istrinya masuk ke dalam.
Kondisi di luar kontrol seperti ini tidak hanya menimpa seseorang saat menghadap Penciptanya. Ada banyak hal lain yang bisa membuat manusia terlena, fana dan hilang akal. Al-Qur'an merekam salah satu fragmen itu dalam surah Yusuf, ayat 31.
Dimana para tamu wanita, waktu melihat Yusuf, serta merta mengiris-ngiris jari mereka dengan pisau. Mereka tercengang. Wajah rupawan Nabi Yusuf memusnahkan kesadaran mereka. Rasa sakit jari jemari yang terkoyak itu nisbi kala dihadapkan pada ketampanan mahatinggi putra Nabi Ya'kub itu. Wanita-wanita itu pun bergumam,
"Ini bukan manusia. Sungguh ia tak lain hanyalah malaikat!" Kaum perempuan itu baru siuman dan mengerang kesakitan setelah Nabi Yusuf lenyap dari pandangan mereka.
Saat kuliah dulu aku pernah terheran-heran, mana mungkin ada mahasiswa, dalam waktu singkat, tanpa napas, hampir tiap malam, mampu menghabiskan 10 porsi Indomie sekaligus? Maka setelah memahami konsep al-Ghaibah kutemukan jawabannya. Temanku itu adalah seorang sufi. Ini sebuah karamah. Kala menyantap mie instan laksana orang kesurupan itu pastilah ia berada di dunia lain. Aku makin kagum saja padanya.
Dan ternyata benih-benih sufi juga tertanam dalam diriku. Gejalanya, saat aku berkenalan dengan perempuat cantik, tanpa terasa, kepalaku didesaki oleh kata-kata mesra. Tanganku tak bisa kukendalikan, ia dengan sendirinya menkonversi kata-kata itu menjadi puisi, catatan, status dll. Biasanya setelah dua-tiga hari aku baru sadar, bertanya-tanya, akukah yang menulis ini? Kalau kawan tidak percaya bacalah pesanku di bawah.
"Seseorang mengirim pesan, bertanya siapa putri itu? Saya membalas. Jika yang Maha Agung pernah mengutus bidadari ke bumi maka putri itu adalah ratunya. Ia bidadari segala bidadari: Cantik tiada tara, lembut tak berbanding dan anggun tiada duanya.
Putri itu adalah Aphrodite, sang dewi cinta dan kecantikan dalam metologi Yunani. Ia turun setiap pagi, bersama fajar, di puncak gunung Roraima yang melayang-layang di Venezuela. Matanya sebening danau Moraine. Dan tatapannya yang magis mampu menenangkan ombak, melumpuhkan angin dan mendinginkan lahar gunung merapi.
Di dunia ini, putri itu adalah majikan dari Laila, Hera, Zinxiang, Juliet, Balqis, Cleopatra dan lady Diana. Pesonanya setingkat dengan kecantikan wanita separuh jagat raya. Wanita dengan kecantikan seperti itu hanya muncul sekali dalam kurun seribu tahun.
Saya tak sanggup kalau harus melihat dia tersenyum, sebab senyumnya, ya Rab, bisa membekukan sungai Nil. Setiap menatap paras wajahnya saya hanya bisa bergumam, "Robbana ma kholaqta hadza bathila, subhanaka faqina adzaban nar"