Tiga Santriwati Pondok Pesantren Al Amin
Cerpen Seputar Islam
Menurut syekh Al-Buthi motivasi utama disyariatkan hijab karena sejatinya perempuan memiliki dua dimensi penciptaan yang berbeda. Yang pertama perempuan, sebagaimana laki-laki, adalah homo sapiens alias makhluk yang berakal budi, maka ia dianugerahi Yang Mahakuasa bakat, intelegensi, kekuatan fisik dan rasa kemanusian. Dari sini perempuan dituntut untuk ikut serta bersama kaum Adam membangun sendi-sendi peradaban manusia.
Di sisi lain, Allah menjadikan perempuan makhluk yang secara jasmani dilengkapi dengan aksesori kecantikan. Faktor penciptaan ini yang membedakan perempuan dengan laki-laki. Secara lahiriah unsur kecantikan itu mengandung daya tarik tertentu yang bisa membangkitkan hasrat, gairah dan nafsu birahi lawan jenis. Tapi perlu dipahami, hasrat ini tidak melulu negatif. Ia merupakan modal utama guna menjalankan tugas sakral lain dari Yang Mahaagung, yaitu menjaga kesinambungan generasi manusia. Yang dikenal dengan istilah hifdzun nasl. Agama mengatur proses kesinambungan generasi ini dengan mensyariatkan nikah.
Demi bahu membahu, ikut andil bersama laki-laki dalam kegiatan pendidikan, sosial, bahkan politik dan agar tidak terbentur dengan unsur kecantikan itu, maka disinilah menurut syekh Buthi, hijab menemukan titik urgensitasnya.
Dengan kata lain, hijab adalah pemisah kedua tugas perempuan agar tidak saling tumpang tindih. Ketika perempuan dituntut berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, hijab akan menutupi unsur keindahannya sebagai wanita, sehingga ia leluasa berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Dan kecantikan alami, yang bisa membangkitkan birahi laki-laki itu, baru dibutuhkan kala ia menjadi partner laki-laki -yang telah sah menjadi suaminya- untuk melestarikan spesies manusia. Tanpa hijab kedua tugas itu akan campur aduk.
Inilah sekelumit pemikiran syekh Muhammad Said Ramadhon Al-Buthi saat menjawab isu-isu miring seputar perempuan dalam Islam. Beliau menuangkan buah pemikirannya dalam sebuah karya yang dengan membaca judulnya saja bisa membuat hati bergetar: AL-MAR ATU BAINA THUGHYANIN NIDZOM AL-GHORBI WA LATHOIFIT TASYRI' AR-ROBBANY.
Lihat bagaimana beliau menyandingkan kata "Thughyan" dengan "Lathoif"; Dua kata yang sangat kontradiktif, seperti Iblis dan malaikat, dengan membaca dua kata yang berlawanan itu orang seolah mendapat gambaran nyata akan kelaliman sistem barat dan memperoleh kesan mendalam mengenai lembutnya syariat Islam. Sedang kata "baina" memberi pengertian bahwa "Al-Mar ah", perempuan, sedang berada ditengah dua kekuatan besar yang saling tarik menarik, seakan-akan ia berdiri di perbatasan surga dan neraka. Sungguh tidak mudah menerjemahkan judul ini ke Bahasa Indonesia, jika tidak pandai memilih kata, bisa menghilangkan kesan yang didapat dalam lingua aslinya.
Kalau diteliti dari karya-karya yang lain, syekh Buthi memang mahir meramu judul buku yang menarik. Tapi tak seperti Media massa online, yang judulnya waow tapi isinya kampret, karangan-karangan syekh Buthi benar-benar berkualitas. Isinya sesuai dengan judulnya, berbobot dari halaman awal sampai akhir.
Berulang kali aku membaca buku Al-Mar ah, sungguh tak jemu-jemu, bahkan sampai hapal beberapa bagian. Pada halaman yang sama dari buku yang hebat ini, setelah menjelaskan urgensitas hijab, beliau menuturkan pengalamanya.
Suatu ketika intelektual perempuan asal Jerman diundang menjadi narasumber dalam seminar tahunan di Al-Jazair. Kebetulan syekh Buthi juga datang dalam acara ilmiah itu. Ketika tiba giliran si wanita Jerman mengisi seminar, ia seperti kebanyakan wanita barat, tampil dengan busana seksi, rambut diurai, ditambah lagi dengan gaya serta gerak-gerik yang bisa memantik hasrat gelap laki-laki.
Syekh Buthi mengedarkan pandanganya. Sungguh mayortas peserta tenggelam dalam khayalan masing-masing. Mereka tidak ambil pusing tentang tema yang diangkat sebab konsentrasi mereka lenyap diisap oleh pesona narasumber cantik itu. Setelah sekian lama berkoar-koar menyampaikan pemikirannya, hasil yang didapat oleh wanita Jerman itu adalah beberapa peserta mengirim kartu nama ke kamarnya mengajak kencan, dengan menghabiskan malam ditemani segelas Koktail.
Aku senyam-senyum sendiri. Sebab dulu di pondok aku sempat mengalami kejadian serupa. Seingatku ketika menjadi redaktur majalah Al-Wafa', kami anggota redaksi pernah ditugaskan Ust. Mahmud, pembimbing kami, untuk berdiskusi dengan keredaksian putri mengenai penerbitan yang akan datang.
Saat itu kami duduk di kelas I Aliah, masih ABG. Kami amat polos. Pengetahuan kami akan dunia sangat terbatas, hanya seluas wilayah pondok saja. Tapi kami tahu, di utara jalan raya Sumenep-Pamekasan itu, adalah daerah terlarang, tempat makhluk asing yang tak boleh kami temui selama 4 tahun di pondok. Makhluk asing itu bernama santriwati.
Sore itu terang benderang. Tim utusan redaksi terdiri dari tiga orang: Adam Malik, Cecep Miftah dan aku. Kami masuk ke ruang penerimaan tamu putri. Dari jauh kami tampak seperti diplomat. Rencananya di ruangan inilah kami akan melakukan rapat dengan redaktur putri. Aku duduk paling belakang, aku merasa waswas sebab ini adalah kali pertama aku memasuki zona merah ini.
Tapi aku merasa tenang karena ruang tamu ini sepi. Hari ini selasa dan tanggal tua, jelas bukan musim kiriman. Selang beberapa menit mereka yang kami tunggu tiba, 3 orang santriwati. Sekilas, saat kucuri-curi pandang, meski mereka masih belum tahu cara memakai bedak, tapi mereka tidak bisa dikatakan tidak menarik. Mereka serupa artis Korea. Apa lagi yang depan, yang paling galak, ia mirip dengan Suzy Miss A. Di sampingnya adalah neng pondok kami dan yang satu lagi kami tidak mengenalnya.
Leherku kaku, sejak awal aku hanya bisa memandang jalan raya. Aku tak berani untuk sekedar melirik putri-putri Korea itu. Tapi aku heran, kedua temanku tampak sangat gugup. Adam malah sibuk berulang kali membersikan kaca mata. Cecep terlihat ngos-ngosan. Aneh sekali tingkah laku mereka.
Tapi tiba-tiba kepalaku seolah tersambar petir. Aku kaget bukan main. Aku sadar mereka tidak gugup, tapi mereka sedang menebar pesona. Musyawarah ini jelas kesempatan emas yang tidak boleh lewatkan begitu saja.
Adam datang ke komplek putri dengan spirit Mohabbatein. Ia berpura-pura menunduk, kemudian dengan santun membuka kaca mata, berdalih ingin dilap. Setelah itu dengan amat tergesa-gesa, dan inilah puncak daya tariknya, ia mendogakkan kepala, memandang putri-putri Korea itu dengan sedikit memicingkan mata. Syahdu. Ini pasti tipu muslihat Sakhrukh Khan yang berhasil merampok banyak hati wanita.
Sedang Cecep, remaja kurus kering itu pasti meniru gaya Brad Pitt saat memerankan tokoh Achilies dalam film Troy. Lihat saja lagaknya; dada busung, napas berat seolah habis teriak memanggil-manggil Hector, duduknya tegap sambil menopangkan tangan kanannya ke dagu. Sangat maskulin. Ia jelas ingin memamerkan otot biji jagungnya pada wanita-wanita di depannya. Sungguh paduan yang sangat memikat, pesona India digabung dengan semangat Yunani. Wanita manapun akan takluk melihat mereka.
Aku keteteran. Tak kusangka situasinya bakal begini. Rapat keredaksian itu sekarang berubah menjadi ajang tebar pesona. Adam dan Cecep pasti mengantisipasi hal ini jauh-jauh hari. Tapi untung saja, kemarin saat mengerik kepala Sholeh Ansori sebab ketahuan merokok, laki-laki Surabaya itu sempat berkicau.
"Hin, kamu tahu kenapa aku gak berhenti merokok meski dibotak puluhan kali?" Ujarnya retoris. ia melanjutkan,
"Karena wanita suka pada laki-laki yang bibirnya kecoklatan. Paham tidak kamu?! Apa lagi kalau bibirnya mengilap. Sangat macho." Aku diam saja. Ingin kukuliti kepalanya biar ia berhenti nyerocos.
Dalam keadaan darurat seperti ini aku tak peduli Sholeh bercanda atau tidak. Maka terpaksa kuperaktekkan petuah konyolnya itu. Akhirnya, meski tak kena sariawan, aku pura-pura meringis, dengan begitu, aku punya alasan untuk membasahi bibir coklatku. Ditambah sedikit inspirasi dari Yati Oktavia saat menggoda Rhoma dalam film berkelana II, maka kugigit bibir bawahku sebelah kiri biar lebih mengesankan. Aku yakin para santriwati itu bakal kelepek-kelepek.
Beberapa menit setelah rapat dimulai keadaan makin tak terkendali. Dari pintu utara ruang tamu, masuklah Hani Mufarida, santriwati yang kondang di putra karena kecantikannya. Genting, benar-benar genting!
Adam meningkatkan level pesonanya sampai batas paling atas. Ia picingkan matanya hingga terpejam, lantas ia edarkan pandagannya ke seluruh sisi ruangan laksana Ariel Noah menyapa fans "Kalian luar biasa!" Cecep pun tak mau kalah, ia ngangkang bak binarawan lagi show. Napasnya tersengal-sengal, capek, karena kali ini Brad Pitt kerempeng itu bukan hanya teriak, namun ia memburu Hector sampai ke lubang semut. Dan aku, yang tadinya cuma meringis, sekarang seperti habis makan cabe satu kilo. Sampai banjir bibirku karena kepedasan itu. Kami mengobral semua daya pikat yang kami miliki, sampai batas paling akhir, sampai tak bersisa.
Anehnya semakin kami tebar pesona, putri-putri Korea itu malah ingin muntah. Tapi tak apa, karena begitulah perempuan, penuh teka-teki. Sekarang mereka tidak mau, tapi nanti malam mereka akan memimpikan kami.
Rapat usai. Setelah melenggang dengan syahdu meninggalkan ruang penerimaan tamu putri, kami kebingungan. Kami tak ingat satu poin pun yang dirapatkan. Bahkan kami silang pendapat mengenai tema. Namun kami sepakat bahwa kami rela menikah dengan Hani Mufarrida. Sungguh benar apa yang dikatakan syehk Buthi. Padahal anggota redaksi putri itu memakai kerudung, tapi masih saja wajah mereka membuat kami lupa daratan. Maka aku berdoa pada yang Mahatinggi semoga kelak seluruh santriwati pondok Al-Amien Prenduan rela, dengan sepenuh hati, menutupi wajah mereka dengan cadar.