Sekelumit Kisah Tentang Imam Syafi'i

Sekelumit Kisah Tentang Imam Syafi'i

Sekelumit Kisah Tentang Imam Syafi'i

Ahmad bin Hambal menarik Ishak ke pojok masjidil haram. Dia ingin menyampaikan kabar yang akan membuat koleganya, sesama penuntut ilmu itu, tercengang. 

"Cepat ikut aku! Kudengar di sana ada laki-laki cerdas yang mempunyai nalar hebat dalam fikih" 

Ishak putra Rohaweh itu tampak tak setuju, "Apa kita akan meninggalkan majelis hadis Ibn Uyaynah hanya gara-gara pemuda itu?!" 

"Ngaji Hadis bisa lain waktu, Ishaq! Tak masalah ketinggalan majelis ibn Uyaynah, riwayatnya bisa diperoleh dari yang lain. Tapi kecemerlangan otak pria itu tidak akan kita temukan bandingannya di belahan bumi manapun!!"

Orang yang mengunjungi tanah suci pada akhir abad kedua Hijriah akan menjumpai halaqoh keilmuan yang istimewa. Di tengah majelis itu duduk penuh wibawa laki-laki sawo matang, mengkhotbahkan konsep Nasikh Mansukh yang menjadi terobosan ilmiah paling spektakuler pada zamannya. Pemuda kharismatik nan cerdas tiada tara itu bernama Muhammad bin Idris Al Syafii. Pria ini yang dimaksud oleh Ahmad bin Hanbal di atas.

Sejak belia Imam Syafii mempunyai sifat-sifat utama untuk menjadi pewaris Nabi. Ia wara', penyabar dan rendah hati. Ia juga rajin, ulet serta memilik etos belajar yang tinggi. Didukung dengan kapasitas otak berjuta-juta Gigabyte, kepalanya yang mengilap itu mampu menampung Al-Qur'an, puluhan ribu hadits dan ratusan ribu syair-syair jahiliah. 

Demi mendalami bahasa fushah Syafii kecil tinggal di pedalaman, hidup nomaden bersama suku Hudzail. Dari kaum badui itu beliau menguasai sastra arab. Sastra erat hubungannya dengan kebudayaan arab kuno. Kaum arab lampau merekam sejarahnya melalu syair dan mewariskannya secara turun temurun. Berkat kecerdasannya, dalam waktu singkat Syafii menjelma menjadi pakar bahasa arab dan menjadi rujukan dalam seni sastra. Ia sangat fasih mengolah kata serta menguasai kemampuan komunikasi massa tingkat tinggi. Kelak para intelektual Islam menjulukinya sebagai "Khotibul Ulama"; Orator cendekiawan muslim. 

Imam Syafii memenuhi segala kriteria menjadi mutjahid mutlak. Tentu sosok seperti beliaulah yang dimaksud Rasul dalam SabdaNya; 

نضر الله امرأ سمع منا شيئا فبلغه كما سمع، فرب حامل فقه إلى من هو أفقه منه، ورب حامل فقه ليس بفقيه.

Seolah Nabi berpesan pada para perawi sabdaNya: "Sampaikan hadisKu dengan benar, hapal baik-baik! Jangan dikurangi jangan ditambah! Masalah pemahaman dan istinbath biar Syafii yang urus!!"

Imam Syafii sangat tekun belajar. Ibunya selalu mengarahkan agar ia mendedikasikan hidupnya untuk ilmu. Pria keturunan Quraisy itu adalah orang berbakat dengan daya analisis yang tajam. Beliau mampu menerjemahkan dalil universal menjadi hukum parsial fikih dan memberi panduan istinbath yang efektif, sistematis dan metodologikal. 

Sebelum Syafii lahir metode istinbath itu hanya eksis dalam angan-angan para mujtahid. Metode ini adalah sesuatu yang unexpressable; bisa dirasakan tapi tak bisa diungkapkan. Tidak semua orang memiliki talenta ijtihad. Namun Syafii merubahnya menjadi dispilin ilmu yang riil, sehingga bisa ditelaah oleh siapapun, metode ini akhirnya populer dengan istilah Ushul fikih. Al Risalah adalah kodifikasi pertama beliau dalam bidang itu.

"Dulu fikih terkunci rapat di dalam sebuah peti, dan Syafii adalah kuncinya" Puji salah satu ulama. 
Imam Syafii lahir tahun 150 H dimana dunia islam saat itu berada di antara dua hegemoni ilmiah yang saling tarik menarik. Disatu sisi umat islam dikejutkan dengan adanya ledakan analogi di Irak, yang dipicu oleh kecerdasan kreatifitas otak kiri Abu Hanifah. Konon warisan hukum fikih dari kias para ulama Irak itu bisa mengatasi problematika umat sampai ratusan tahun setelahnya. Disisi lain, di Madinah muncul corak fikih konvensional yang lebih monoton. Amat konservatif dan fundamental. Masyarakat Hijaz tidak butuh kias karena selain tak banyak masalah baru Madinah adalah kota dengan gelimang riwayat hadis dan kaya raya akan atsar Sahabat. Bahtera aliran ini dinahkodai oleh Imam Malik bin Anas. 

Kedua madrasah itu, yang lazim disebut dengan ahlur ra'i dan ahlul hadis, merupakan mercusuar keilmuan Islam. Kesanalah para pemuda melecutkan kuda-kudanya, berbondong-bondong demi merasakan candu ilmu agama. Termasuk juga Syafii. 

Syafii berkenalan dengan fikih di Hijaz. Ia belajar kepada imam Malik. Bahkan pada kunjungan pertama ke Irak, ia digelari dengan Nashirus sunnah, sebab ia menjadi tonggak pembela madrasatul hadis. Ia mendebat cendekiawan ahlur ra'i yang tersebar di seantero Kufah dengan mengibarkan bendera mazhab Malik.

Di Irak Syafii menetap selama dua tahun. Momen singkat itu ia gunakan dengan baik. Selama dua tahun itu ia menyerap ilmu madrasatur ra'i melalui murid-murid Abu Hanifah, terutama Muhamad bin Hasan Al Syaibani.



Setelah dirasa cukup menimba ilmu Syafii bertolak ke Mekkah. Dan kembalinya beliau itu, tak dinyana, merupakan momentum lahirnya Mazhab baru di dalam dunia persilatan fikih. Sampai di tanah suci, ia iktikaf di masjidil haram sembari melakukan perenungan terhadap kedua mazhab.

Syafii melakukan elaborasi pada argumentasi mereka, mengkomparasi dalil, menimbang, mendalami dan akhirnya setelah sekian lama, ia muncul dengan pendapat yang berbeda. Sekarang ia bukan lagi mukalid, ia Mujtahid. Kemampuannya berijtihad itu mewajibkannya untuk tegak di atas kaki sendiri, tak ikut orang lain. Sebagai penegasan bahwa mazhabnya telah berdiri Syafii mengarang kitab "Ikhtilafu Malik" dan "Ikhtilaful Iroqiyyin"; Pembangkangan terhadap Malik dan pemberontakan terhadap ahli Irak.

Mazhab imam Syafii berkembang pesat dan tersebar secepat kilat ke seluruh penjuru. Pada abad-abd selanjutnya, Aliran beliau gonta ganti dengan Mazhab Hanafi merajai daerah Islam. Pada masa khilafah Abbasiyah aliran Abu Hanifah lebih dominan sebab ia dijadikan mazhab tunggal dalam pemerintahan. Namun ketika Abbasiyah runtuh Kekhalifahan setelahnya, yaitu Ayyubiyah, mengadopsi mazhab Syafii sebagai undang-undang negara, yang sekaligus menjungkal dominasi aliran Hanafi. Penganut Mazhab Syafii sampai detik ini meluas ke Asia tenggara, dibawa oleh pedagang Hadhramaut. Sedang Mazhab Hanafi sangat damai dan tentram dipeluk warga Pakistan, India dan sekitarnya.

Mazhab Maliki suatu ketika tersebar di Mesir, tapi sejak Syafii tinggal dan wafat disana, Mesir terbelah dua. Akhirnya Mazhab Maliki terdampar jauh ke Andalus dan Afrika; Tunisia, Burqina faso dll. 

Sedang tempat lahirnya aliran imam Malik, Hijaz, hari ini dikangkangi kaum berjenggot tebal yang menutup kepalanya dengan sorban. Tidak dililitkan namun sorban itu dipakai seperti taplak meja, dan disetrika di bagian tengah agar menguncup seperti ujung atap rumah panggung orang Padang. Golongan ini tempramen, sedikit saja kena senggol bisa menyemburkan makian khasnya: Harom! Hadza BID'AH! KUFR! SYIRK!! Mereka mengaku bermazhab Hanbali, tapi pengikut Imam Ahmad sendiri menolaknya, menganggap mereka sempalan dari mazhab keempat itu. 

Aku beruntung pernah membaca kisah Imam Syafii. Jauh-jauh sekolah ke luar negeri aku tak merasa rugi karena aku bisa berdialektika dengan pemikiran beliau. Apalagi menelaah kitab Al Um, sungguh merupakan nikmat tersendiri. Tak dapat ijazah s1 pun tak apa-apa.

Lebih-lebih ketika beliau memaparkan argumennya dengan gaya dialog; Fain qulta kadza.. Fal jawab kadza.. Wain qulta kidza.. Faaqulu kidza.. Aku benar-benar terpesona. Aku terbawa seolah Imam Syafii mengajakku berduskusi. Dan ajaib! Secara imajener Imam itu menjelma dari kitab Al Um duduk di depanku. Aku tak percaya, berkali-kali kekucek mataku untuk memastikan. Nyata, Imam Syafii ada di dalam perpus kuliah. Maka tak kusia-siakan kesempatan berharga ini. Ini karomah. Ingin kutanyakan padanya apa rahasianya sehingga ia bisa pintar begitu?

"Sederhana anak muda. Kalau makan kunyah 40 kali!" Jawabnya singkat.

Aku kaget bukan main. Imam Syafii selain pandai ilmu agama, juga jago ilmu kedokteran. Rupanya ini yang membuat ia jadi mujtahid. Benar-benar sederhana! Pantas aku tak kunjum paham ushul fikih, semasa kuliah kalau makan memang tak pernah kukunyah. Sebab kawan tahu, di kuliah satu nampan jatah makan dikerubuti lima orang. Jika harus dilumatkan dulu bisa kalah serangan.

Imam Syafii duduk khusu' di tengah-tengah perpus. Aku yang baru mengetahui rahasia agung itu masih tak bisa menyembunyikan rasa terkejutku. Aku ingin memastikan padanya tentang korelasi makan dengan ijtihad? Apa sandaran beliau? Apa mungkin dalilnya sebuah hadis sahih yang tertelan zaman, tidak sampai riwayatnya pada kita?! Aku nervous menyadari sebentar lagi aku akan jadi mujtahid. 

"Kenapa harus 40 kali, Imam?"

"BIAR GAK KESELEK BEGO!!!" Ah, rupanya aku kebanyakan nonton INI TALKSHOW. Yang duduk di depanku tadi bukan Imam Syafii, ia pasti Andre Taulany.

Tapi yang jelas dari semua kalam Imam Syafii, ada satu kata beliau yang membuatku terkesan. "MAN LAM YATAZAWWAJ MISHRIYYAH FAHUA A'ZAB" Belum nikah namanya kalau tidak dapet cewek Mesir, kira-kira begitu maksudnya.

Maka aku mencoba melobi Yang Di Atas prihal jodohku, baik yang telah digariskan di Lauh Mahfudz atau yang sedang ditimbang-timbang di TanganNya; Tuhan! Aku ingin menikah dengan mahasiswi Azhar saja!