4 Golongan Yang Diperbolehkan Untuk Tidak Berpuasa
Kamu Harus Tahu RamadhanGolongan manusia di bulan Ramadhan dapat dibagi menjadi tiga golongan:
- Golongan yang boleh berpuasa dan boleh tidak berpuasa,
- Golongan yang wajib tidak berpuasa, dan
- Golongan yang wajib berpuasa.
Pertama: Orang sakit
Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang memiliki penyakit
yang membuatnya tidak lagi dikatakan ssebagai orang sehat.
Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum. Nanti ketika sembuh, dia mengqadha’nya (menggantinya di hari lain). Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Untuk orang sakit ada tiga kondisi:
Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak
berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau
sakit kepala yang ringan, dan perut keroncongan. Untuk kondisi pertama ini
tetap diharuskan untuk berpuasa.
Kondisi kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah
atau akan menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini
tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan
dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.
Kondisi ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan
menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini
diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang
artinya), “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)
Kedua: Orang yang bersafar
Musafir disni adalah musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan
keringanan untuk mengqashar shalat diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala, “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa
ataukah tidak? Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti
lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat dikatakan bahwa
musafir ada tiga kondisi.
Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit
melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.
Jabir mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang
diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa
ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik
seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.” (HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no.
1115). Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu
adalah kondisi yang menyulitkan.
Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa
dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini
lebih utama untuk berpuasa.
Dari Abu Darda’, beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup
terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena
cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”
(HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122) Apabila tidak terlalu menyulitkan
ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya
kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan
orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan
orang-orang tidak berpuasa.
Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan
yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib
tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H)
menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika
sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah),
orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan
segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau.
Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada
yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah
orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.” (HR. Muslim no.
1114). Nabi mencela keras seperti ini karena berpuasa dalam kondisi
sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.
Ketiga: Orang yang Sudah Tua dan Dalam Keadaan Lemah, Juga
Orang Sakit yang Tidak Kunjung Sembuh
Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu
berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qadha bagi mereka.
Dan menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu
memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Pendapat
mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala
(yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
(QS. Al Baqarah: 184)
Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, maka dia
disamakan dengan orang tua yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia
diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi setiap
hari yang ditinggalkan).
Baca juga : aturan dan tatacara membayar fidyah
Keempat: Wanita Hamil dan Wanita Menyusui
Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam
kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih karena
sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Hal ini
disepakati oleh para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menghilangkan
pada musafir separuh shalat. Allah pun menghilangkan puasa pada musafir, wanita
hamil dan wanita menyusui.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa hadits ini hasan)
Namun apakah mereka memiliki kewajiban qadha ‘ ataukah
fidyah? Dalam masalah ini ada lima pendapat. Pendapat yang terkuat adalah
pendapat yang mengatakan bahwa cukup dengan fidyah yaitu memberi makan kepada
orang miskin tanpa mengqadha’.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Keringanan dalam hal ini
adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta dan mereka mampu
berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang
miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi
mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu,
barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih tetap
ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu
berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat
bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan.” (Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al
Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18)
Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar. Dan
tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat keduanya. Juga dapat
kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat
185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam).
Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan
dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits
ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah
dikenal dalam ilmu mustholah. Wallahu a’lam.